Panti Asuhan

child-817368
Sumber foto

Ini adalah kali kedua aku mengajak Sarah untuk mengenalkannya pada Bu Aisyah pemilik Panti Asuhan sebelum pernikahan kami.

Kami menunggu di ruangan kerjanya setelah sempat berkeliling melihat anak asuhan di sana.

“Aku tidak sabar bertemu orang yang selalu kamu puji di setiap ceritamu.”
Sarah menggenggam jemariku, aku menoleh dan tersenyum padanya.

“Kamu akan melihat seperti apa baiknya beliau, Sayang.”

Pintu terbuka disusul masuk wanita berparas ayu yang kupanggil Bu Aisyah. Senyum menghias wajahnya saat melihat kami berdua.

“Ini pasti Sarah.” Ia memeluk erat Sarah.

“Tito, Ibu ada hadiah kecil untukmu. Ibu menemukannya kemarin ketika sedang membersihkan gudang.”

Bu Aisyah menyodorkan sebuah foto anak lelaki dan perempuan berusia 8 dan 5 tahun. Aku mengingatnya sebagai aku dan adikku. Satu-satu kenangan berkelebat di kepala teringat kenangan masa kecilku.

“Ini foto milik siapa, Bu? Mengapa ada saya di dalam foto itu?” Tanya Sarah memecah ingatan dan keheningan.

========

#EstafetFF

Topik : PANTI ASUHAN

Hai, Selamat Ulang Tahun!

image

MFF? Apaan tuh, Cha? Male Female Female? Loh, threesome? (eh, gimana?)

Hahaha. Iya itu pertanyaan yang saya ajukan di tahun 2013 kepada Masya Ruhulessin. Mungkin Cha pun lupa kalau saya pernah bertanya hal ini.

Ya, sekitar tahun 2013an saya mulai mengenal Masya Ruhulessin karena kami terlibat proyek antologi kolaborasi menulis cerpen yang kemudian menyatukan kami di sebuah judul buku dan juga grup penulis kolaborasi ‘Lovaboration’. Saling follow blog, saya mulai rajin blogwalking. Mengenal banyak penulis dan blogger, menjadi silent reader, mencuri ilmu tulis menulis, lalu terdampar pada postingan sebuah flashfiction milik Masya. Di sana selalu tertulis ‘Prompt blabla’ dan menautkan link ke sebuah blog Monday FlashFiction. Lalu saya ajukan pertanyaan seperti di atas tadi. Atas petunjuk Masya akhirnya saya cari tahu dan mengamati diam-diam grup ini.

Setelah beberapa bulan saya hanya mengamati grup MFF ini, ada rasa ingin bergabung yang besar. Tapi sayang, grup ini hanya aktif di facebook di mana saya tak memiliki akunnya. Lalu saya lupakan keinginan itu namun saya follow akun twitter foundernya Mbak Carra. Pucuk cinta ulam pun tiba, kayak udah jodoh Mbak Carra memfollow balik saya. Saya yang fakir follower dan merasa bukan apa-apa ini tentunya senang luar biasa. Dalam hati saya berkata “Baik bangeeeet.” hahaha lebay ya? Biarin. 😛

Hari berlanjut menjadi bulan, di grup MFF ternyata sedang ada prompt berhadiah tapi khusus member, non member hanya bisa ikutan prompt tapi tidak diikutkan untuk dinilai. Saya yang ‘ngincer’ hadiahnya merasa sedih. Ya, maklum soalnya saya belum jadi member.

Hari berganti lagi, rasa ingin bergabung mengalahkan prinsip saya yang tidak akan pernah membuat akun facebook. Tanpa pikir panjang lagi saya langsung membuat akun facebook dan menuju grup MFF untuk bergabung. Hari itu juga permohonan bergabung saya langsung diapprove oleh Mbak Carra. Wah, cepat sekali. Pada bagian inilah saya baru tahu setelah beberapa bulan kemudian kalau saya tidak melewati sesi wawancara via inbox. Yaaa, padahal saya kan pengin diwawancara. Haha.

Yang ingin saya sampaikan kepada grup Monday FlashFiction dan foundernya Mbak Carra adalah, kalian itu spesial pakai banget sampai bisa membuat saya goyah. Bertahun-tahun saya kukuh tak ingin memiliki akun facebook sampai saya bertemu kalian berdua di tahun 2013. Iya, saya membuat akun itu semata hanya untuk bisa bergabung dalam grup ini. Nama yang saya gunakan pun nama samaran. Teman yang ada sekarang ini pun sebagian besar dari grup MFF, sebagian lainnya adalah #kruBFG, dan sisanya adalah toko buku online. Bahkan keluarga atau pun orang-orang terdekat pun tidak saya tambahkan dalam daftar pertemanan saya. Ekslusif hanya untuk grup Monday FlashFiction.

Sekeren itulah grup ini bersama founder dan membernya. Ah, tak terasa ternyata sudah setahun lebih saya bergabung di grup ini. Usianya pun sudah menginjak dua tahun di bulan ini. Ibarat bayi, usia ini lagi lucu-lucunya. Lagi banyak perkembangan. Lagi mulai bisa ini itu. Begitu pun MFF, perkembangannya pesat sekali. Saat ini saja sedang berlangsung perhelatan MFF Idol 2. Keren banget!

Selamat ulang tahun grup Monday FlashFiction kesayangannya aku. Semoga dirimu bersama membernya terus tumbuh besar dan semakin gemilang. Menelurkan penulis-penulis handal yang kuat dan terlatih menerima gempuran kritikan dari siapa saja. Tetap belajar dan menjadi hebat bersama.

Love,

Member yang hampir tidak pernah ikutan prompt…

Pesta Online Kedua MFF
Posted from WordPress for Android

Foto Perjalanan

image

Aku selalu menyukai traveling, terutama dengannya. Waktu bisa berjalan begitu cepat dan tiba-tiba saja kau lupa segalanya. Ya, seperti perjalanan kali ini; sebuah desa kecil jauh dari Ibukota, berdua saja. Yang membuatku tak habis pikir mengapa dia memilih tempat ini, padahal sudah jelas ada larangan keras untuk tidak melakukan perjalanan tanpa guide.

“Sayang, kamera yang tadi kita pakai mana?”
Suara Attar membuyarkan lamunanku. Hanya dengan berbalut handuk aku segera menghampiri dirinya yang sedang memeriksa tas hitam yang kami gunakan untuk traveling.

“Yang itu, bukan yang hitam.”
Aku menunjuk tas berwarna merah satu-satunya yang berada di pojok kamar. Attar menoleh ke arah yang aku tunjuk dan beranjak ke sana. Tanpa bertanya lagi ia kemudian mencari kamera itu.

“Got it! Thanks, honey.”

“Ada lagi yang kamu perlukan?”

Ia tersenyum dan menggelengkan kepala.

“Kinan…”
Belum juga aku meninggalkan kamar, Attar sudah memanggilku kembali.

“Ada apa?”

“Aku suka foto ini, tapi ada yang aneh.”

Attar menyodorkan kamera yang dipegangnya ke depanku. Kulirik sekilas foto itu. Tak ada yang aneh bahkan hasil fotonya cenderung lebih bagus dari yang pernah kami ambil.

“Apa yang aneh?”

“Ini!” Attar menunjuk-nunjuk foto itu. “Lihat, perhatikan. Siapa yang memotret kita, kita kan cuma berdua?”

Kuraih kamera yang ada di tangan Attar dan melihatnya baik-baik. Di dalam foto itu tampak kami duduk di dalam mobil yang atapnya terbuka membelakangi kamera. Sebentar, membelakangi kamera? Bagaimana bisa kami membelakangi kamera jika pada foto itu kamera yang kami miliki ada di pangkuanku.

Aku memandang Attar dengan bingung. Attar pun tak kalah bingung. Ia mengernyit, kulit di antara dua alisnya mengerut.

“Lalu siapa yang memotret kita di foto ini?”

___________________

1. Prompt #71
2. 263 kata tidak termasuk judul dan keterangan

Sundae Morning

image

“Sepagi ini?”

“Enak?”
Retha mengerjapkan matanya menunggu jawaban. Chocolate Sundae tersaji di atas meja pantry.

“Enak.”

Senyum Retha mengembang ketika es krim itu disendok berulang kali oleh Danu dan kian berkurang isinya.

“Aku menggunakan cokelat eropa oleh-oleh dari istrimu,” ucap Retha.

“Kapan kamu bertemu Atisha?” tanya Danu.

Retha tersenyum lebar. Meneguk minuman dari gelasnya. “Dua hari yang lalu.”

Mereka bertukar pandang. Wajah Danu berubah pias. Selama beberapa detik suasana menjadi senyap walau suara musik mengalun lembut dalam apartemen Retha.

“Kalian membicarakan aku?”

Retha bangkit dari duduknya dan berjalan ke sofa warna abu. “Pasti.” jawab Retha.

“Atisha tak perlu tahu tentang kita.”

Danu menuangkan teh ke dalam cangkir dan menyesapnya perlahan. Ia menyusul Retha duduk di sofa warna abu itu. Memeluknya dari belakang dan menyandarkan wajahnya di samping wajah Retha.

Retha beringsut keluar dari pelukan Danu dengan mudah dan berdiri di depan Danu yang jatuh tertidur di atas sofa. Wajah Danu kini benar-benar pucat. “Apa yang kau lakukan, Retha?” tanyanya terbata.

“Aku hanya mencampur bubuk yang diberikan Atisha.” jelas Retha.

“Ambilkan aku minum… ” Danu memelas.

“Biarkan saja, Sayang.”
Suara itu setajam dan sedingin es. Danu masih bisa melihat Atisha dari sudut matanya, si pemilik suara yang sedang mencium mesra Retha.

_______________________

1. Prompt #59
2. ±200 kata tidak termasuk judul dan keterangan

Rumah Impian

image

“Aku sudah bilang, kalau mau ke sini kabari dulu.”
Sarti terus saja mengomel semenjak bertemuku tadi. Aku diam tak menjawabnya sedikit pun.

Bajaj yang kami tumpangi berhenti di depan gerbang perumahan mewah. Aku menatap takjub berbagai rumah yang indah. Mereka tampak sangat gagah.

“Ayo, sini. Jangan bengong di pinggir jalan begitu!”
Mungkin Sarti sudah lupa kalau aku adalah Ibunya hingga ia menghardikku dengan kasar.

“Rumahmu mana, Nduk?”
Ia diam dan berjalan cepat di depanku. Melewati dan menjauhi gerbang perumahan hingga sampai di sebuah gang kecil. Rumah-rumah triplek berdempetan, memanjang di bantaran sungai yang airnya sangat keruh. Sarti memasuki salah satunya.

—————————
1. Prompt #67
2. 100 kata, tidak termasuk judul dan keterangan.
3. Gambar di ambil dari sini